Pages

Minggu, 05 Oktober 2014

Kota Bandung, Antara Komersialisme dan Kenyamanan Jalan Raya

Ingatkah Anda beberapa tahun ini, ketika anda bepergian ke Bandung, apa yang anda lihat? Factory outlet yang tumbuh di sana-sini seperti jamur dan kemacetan di hari weekend. Jelas sangat menyebalkan ketika anda yang datang ke Bandung bukan untuk pelesir, malah harus menonton kemacetan Bandung karena tata ruang kotanya buruk.
Benarkah Kota Bandung termasuk kota yang tata letaknya buruk? Tidak demikian menurut Ahli Planologi ITB, Denny Zulkaidi. Bagi beliau, Bandung memiliki tata kota yang terbilang baik, hanya saja implementasinya yang buruk. Pemerintah dituding tidak becus dalam memberikan izin terhadap FO atau tempat-tempat perbelanjaan lainnya. “Pemerintah sebenarnya jadi posisi yang serba salah. Ketika dia memberikan izin salah, tidak memberikan izin juga salah,” terang Denny.
Menurut pengamatan Denny, pemerintah Kota Bandung memiliki prinsip yang malah berakibat salah kaprah. Prinsipnya adalah Bandung merupakan Kota Jasa. Mengapa menjadi salah kaprah? Denny menerangkan bahwa Pemkot Bandung memberikan izin untuk mendirikan usaha, yang menurut pemikiran pemkot hanya berupa musiman. Ternyata pemikiran itu salah dan akhirnya lahan tempat komersil menjadi semakin banyak dan menumpuk. Salahnya lagi tempat-tempat komersil ini disatukan.
Pemerintah Kota Bandung termasuk mengabaikan hak-hak masyarakatnya untuk menikmati kota mereka sendiri. Motifnya diperkirakan ada tiga, pemerintah tidak sengaja, pemerintah memiliki tujuan sendiri namun merugikan orang lain, dan pemerintah terjebak dalam komersialisme. Ketika tempat komersil ini disatukan di satu wilayah, akibatnya butuh lahan parkir yang luas, karena lahan parkir yang tersedia tidak mencukupi, jadilah badan jalan dipakai untuk lahan parkir dan kota Bandung pun macet. “Inilah tanda pemerintah tidak berkonsultasi atau bahkan tidak merencanakan tentang hal ini. Bukan tidak mungkin Bandung akan seperti Jakarta, “ kata Denny.


Ada lagi sekarang penambah keramaian di sepanjang Jalan Dago, di trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki, di cat biru dan diklaim sebagai jalur sepeda. “Pemerintah maksain untuk membuat jalur itu. Sebenarnya untuk jalur sepeda hanya masalah gengsi saja karena ingin Bandung memiliki jalur sepeda. Bodor itu mah (Itu lucu), “ ucap Denny. Akhirnya kepentingan banyak orang juga diganggu di sini. Di satu sisi, jika jalur sepeda ini diletakkan di badan jalan, jelas kemacetan Bandung semakin parah, namun jika diletakkan di trotoar, pejalan kaki mau jalan dimana?
Intinya sekarang bagaimana pemerintah Kota Bandung mau berbenah untuk rakyatnya agar dapat kembali menikmati Bandung seperti dulu yang nyaman dan tidak macet sana-sini. “Seperti yang di awal saya bilang, pemerintah serba salah,” tutupnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About